ABSTRAK
Sikap pro-lingkungan lebih lazim di kalangan orang kaya dan terpelajar, baik di dalam maupun di luar masyarakat. Namun, dasar-dasar pola ini masih diperdebatkan. Beberapa akademisi memandang keterlibatan lingkungan sebagai politik kemakmuran, yang muncul di antara kelompok-kelompok yang kebutuhan materialnya cukup terpenuhi untuk memprioritaskan masalah-masalah non-material. Yang lain menafsirkan komitmen ekologis sebagai bentuk pembedaan simbolis, yang memperkuat hierarki sosial. Penelitian ketiga menunjukkan bahwa habitus ekologis baru telah berkembang di antara kelompok-kelompok dengan modal budaya tinggi. Berdasarkan pemetaan terperinci sikap lingkungan di seluruh ruang sosial, saya mengajukan interpretasi alternatif. Terhadap hipotesis kemakmuran, saya menunjukkan bahwa bukan orang-orang terkaya secara materi yang paling pro-lingkungan, melainkan mereka yang kaya akan modal budaya. Dengan memberi nuansa pada tesis pembedaan ekologis, saya berpendapat bahwa komitmen pro-hijau di antara kelompok-kelompok ini tidak hanya mencerminkan sinyal status yang menurun tetapi juga pertentangan simbolis terhadap modal ekonomi dalam kelas dominan. Dan bertentangan dengan klaim habitus ekologis, saya menemukan bahwa komitmen ekologis di antara mereka yang memiliki hak istimewa secara budaya lebih selektif dan tidak konsisten daripada yang tersirat dari habitus yang benar-benar berubah. Sebaliknya, saya mengusulkan bahwa pandangan pro-lingkungan di antara mereka yang kaya akan modal budaya mengekspresikan penolakan simbolis yang lebih luas terhadap uang, kekayaan, dan materialisme yang terkait dengan modal ekonomi. Penafsiran ini diperkuat oleh keselarasan yang erat antara sikap pro-lingkungan dan selera budaya anti-materialis—pola yang menjelaskan banyak hubungan yang diamati antara modal budaya dan pengambilan posisi hijau.